SELAMAT HARI JADI SITUBONDO KE-195, SEMANGAT MEMBANGUN BERSAMA UNTUK KESEJAHTERAAN BERSAMA

Jumlah Tamu :

SMS GRATIS

Pengikut

free counters

Selamat Datang

BADAN PENGELOLA JAMINAN SOSIAL

Silang pendapat mengenai RUU BPJS terus bergulir antara Pemerintah dan DPR RI. Solusi pun diupayakan dengan mengundang para ahli untuk mengatasi polemik seputar RUU BPJS bersifat penetapan atau pengaturan.

Ibarat mengurai benang kusut, Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS) terus mengalami kebuntuan karena Pemerintah dan Panitia Khusus (Pansus) RUU BPJS DPR RI bersikukuh pada pendapat masing-masing seputar masalah sifat RUU BPJS. Selain itu pemerintah berpendapatbanyak kelemahan dan ketidaksesuaian RUU tersebut dengan Undang-UndangNomor 40 tahun 2004 tentangSistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN).

Hal ini terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RPDU) pada 11 Januari lalu yang menghadirkan enam ahli dari berbagai disiplin ilmu. Mereka adalah mantan Ketua SJSN Sulastomo, Dosen FE UGM Anggito Abimanyu, Sri Moertiningsih Adioetomo, Direktur Biro Pusat Aktuaria Haris E.Santoso, Doktor Hukum Tata NegaraUniversitas Indonesia A. Irmaputra Sidin, dan Guru Besar FEUI Prijono Tjiptoherijanto.

Menurut Sulastomo, ada tujuh prinsip dasar yang harus dilakukan sesuai konstitusi, yaitu sifat gotong royong, pendekatan integratif, hukum the law of large numbers atau the law of everage, sentralistis dalam pengumpulan iuran, desentralisasi dalam pemanfaatan iuran, integrasi sistem pelayanan, dan pembiayaan.

Nantinya dalam penyelenggaraan program jaminan pensiun diterapkan konsep manfaat pasti dengan masa transisi 15 tahun tanpa memperhitungkan iuran yang mestinya tertunggak. Hal ini memberi jaminan negara bagi terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan BPJS sekaligus memperhatikan realita yang ada.

“Solusinya dengan wadah tunggal. Biarlah berjalan sesuai dengan kebutuhan dan waktu, meskipun kecenderungan di berbagai negara dan perkembangan teknologi informasi telah membuka peluang kemungkinan wadah tunggal itu. Sedangkan bentuk BPJS yang diperlukan lebih sesuai dalam bentuk badan hukum publik,” ujar salah satu tokoh yang membidani lahirnya UU SJSN tahun 2004 silam.

Sementara itu, Dosen Fakultas Ekonomi UGM Anggito Abimanyu mengatakan, harus ada penyamaan persepsi mengenai BPJS menyangkut badan hukum, pemilihan pimpinan, pengelolaan dana, dan masa transisi antara pemerintah dan DPR RI.

Dari sisi pendanaan, diusulkan BPJS dilebur menjadi dua kelompok. Pertama, BPJS Kesehatan dan Kecelakaan Kerja dengan pengelolaan dan pendanaan jangka pendek, kedua, BPJS Pensiun, Hari Tua dan Kematian dengan pengeloaan dan pendanaan jangka panjang.

“Mengenai bentuk badan hukum bisa melalui Badan Layanan Umum untuk kategori BPJS pendanaan jangka pendek, seperti ASKES dan ASABRI. Sedangkan Badan Hukum Pemerintah untuk kategori BPJS pendanaan jangka panjang melalui TASPEN dan JAMSOSTEK,” ujar Anggito.

Selain itu, ada hal penting yang belum tertampung dalam RUU BPJS, yaitu mekanisme pengumpulan dana iuran BPJS melalui pembiayaan pemerintah dan pembentukan BPJS Daerah.Anggito juga menyarankan agar pemerintahmemperbaiki Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang konstruktif. Sebab DIM yang ada saat ini tidak dapat dipakai sebagai basis pembahasan di tingkat Panitia Khusus (Pansus) dan Panitia Kerja RUU BPJS.

Menurut Sri Moertiningsih, polemik yang bergulir saat ini adalah akibat pemahamandefinisi semantik yang berbeda sehingga kesulitan dalam menjaring kepesertaan sektor informal, yaitu menemukan lokasi sektor informal, kesulitan registrasi dan pemungutan iuran, kesulitan penetapan besarnya iuran, dan masalah kesinambungan.

Selama ini pemerintah membuat sistem penjaringan kepesertaan dalam 4 klaster, Kalster I, bantuan sosial, Raskin, Jamkesmas, PKH, BLT, dll., Klaster II, pemberdayaan masyarakat, PNPM mandiri, dll., Klaster III, pemberdayaan usaha mikro, UMK, KUR., dan Klaster IV, pelaksanaan SJSN.

“Pertanyaannya adalah siapa yang dimaksud dengan semua? Adalah semua penduduk termasuk orang asing yang telah tinggal 6 bulan atau lebih. Tidak hanya pekerja sektor formal, tetapi juga pekerja informal dan yang tidak/belum bekerja atau dalam pasar kerja tetapi menganggur,” ungkapnya.

Adapun Direktur Biro Pusat Aktuaria Haris E. Santoso, RUU BPJS menegaskan perlu adanya sistem pengaturan tentang kewenangan, kewajiban,dan organ BPJS. Adapun melihat karakter program, peserta dan BPJS yang berbeda,minimal dibentuk dua BPJS. Pertama, BPJS yang mengelola Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja,dan Jaminan Kematian,. Kedua, BPJS yang mengelola Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun.

Dia mengatakan, “mengenai keberadaan ASABRI dan TASPEN tetap sebagai BPJS untuk melayani peserta dari kalangan TNI, POLRI, dan PNS sebagai pelengkap manfaat dari SJSN. Sedangkan BPJSD berfungsi sebagai penyelenggara Jaminan Kesehatan saja, karena beberapa daerah juga mengalami kesulitan pendanaan.”

Sedangkan Guru Besar FEUI Prijono Tjiptoherijanto cenderung mengedepankan pada peraturan perundang-undangan sebagai faktor utama pelaksanaan SJSN yang meliputi kepesertaan, sumber pembiayaan, prasyarat kepesertaan, jenis dan tingkat manfaat, dan organisasi penyelenggara. Pasalnya, pemberian jaminan sosial adalah social assistance, informal sector, professionalism, private dan poverty allevation.

Komentar :

ada 1
obyektif-magazine mengatakan...
pada hari 

Salam kenal, salam persahabatan, apa kabarnya? Semoga Badan Pengelola Jaminan Sosial berjalan lancar, komunitas blogger situbondo semakin maju dan banyak kegiatan positif. Trims.

Salam kompak:
Obyektif Cyber Magazine
(obyektif.com)

Adsense Indonesia
Adsense Indonesia
 
This Blog is proudly powered by Blogger.com | Template by Agus Ari Cahyadi